BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah negara
kepulauan terbesar di dunia karena memiliki panjang pantai yang mencapai 95.181
km² dengan luas wilayah laut 5,4 juta km2. Potensi ini
menempatkan Indonesia sebagai
negara yang dikaruniai sumber daya
kelautan yang besar termasuk
kekayaan keanekaragaman hayati
dan non hayati kelautan. Sebesar 14 persen dari terumbu karang dunia ada di
Indonesia. Diperkirakan lebih dari 2.500 jenis ikan dan 500 jenis karang hidup
di dalamnya.
Berdasarkan laporan FAO
Year Book 2009, saat ini Indonesia telah menjadi negara produsen perikanan
dunia disamping China, Peru, USA
dan beberapa Negara kelautan
lainnya. Produksi perikanan tangkap tahun 2010 mencapai 5,38 juta ton,
perkiraan tahun 2011 mencapai 5,41 juta ton, dan 5,44 juta ton target tahun
2012. Maka
tidaklah heran sebagian besar masyarakat Indonesia tinggal dan menempati daerah
sekitar wilayah pesisir serta menggantungkan hidupnya sebagai nelayan.
Masyarakat nelayan yaitu suatu
masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dengan mata pencaharian utama mereka
adalah memanfaatkan sumber daya alam yang terdapat di lautan. Masyarakat
nelayan menggantungkan hidupnya terhadap pemanfaatan potensi sumberdaya
perikanan yang terdapat di lautan. Sehingga pendapatan masyarakat nelayan
secara langsung maupun tidak akan sangat mempengaruhi kualitas hidup mereka,
karena pendapatan dari hasil berlayar merupakan sumber pemasukan utama atau
bahkan satu-satunya bagi mereka. Akan tetapi di lain
pihak, produktivitas para nelayan Indonesia hingga saat ini masih tergolong
rendah. Dengan
potensi laut yang melimpah, kesejahteraan nelayan justru sangat minim dan
identik dengan kemiskinan. Sebagian besar 63,47 persen penduduk miskin di
Indonesia berada di daerah pesisir dan pedesaan. Data
statistik menunjukan bahwa upah riil harian yang diterima seorang buruh tani
(termasuk buruh nelayan) hanya sebesar Rp. 30.449,- per hari. Jauh lebih rendah
jika dibandingkan dengan upah nominal harian seorang buruh bangunan Rp.
48.301,- per hari. Hal ini dikarenakan pengelolaan
serta penguasaan pemanfaatan sumberdaya laut yang belum maksimal dan tidak
sepenuhnya dikuasai oleh nelayan lokal indonesia, seperti banyak kapal-kapal
asing yang hadir di laut Indonesia.
Kegiatan tersebut mengakibatkan Indonesia mengalami kerugian
ekonomi yang cukup besar. Setiap tahun negara dirugikan 4 milyar dollar Amerika
Serikat (AS) akibat penangkapan ikan ilegal yang dilakukan oleh nelayan asing.
Di sisi lain, jumlah anggota keluarga nelayan Indonesia yang masih berada dalam
kondisi miskin ada sekitar 20 juta orang. Selain karena lemahnya
pengawasan instansi terkait, hal itu tak lepas dari kian agresifnya nelayan
asing menjelajahi perairan Indonesia dengan dukungan kapal dan alat tangkap
memadai. Bahkan, belakangan, pencurian ikan melebar ke tindak penyelundupan.
Modusnya, hasil tangkapan nelayan asing tersebut diselundupkan kembali ke
wilayah RI, seperti yang marak terjadi di Kalimantan Barat.
Hal inilah yang melatarbelakangi
penulis untuk untuk menulis sebuah karya tulis tentang pengaruh penangkapan
ikan secara illegal (perikanan ilegal) terhadap kelangsungan hidup masyarakat nelayan
lokal.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah :
1.
Apakah pengaruh perikanan ilegal oleh
kapal asing terhadap kelangsungan hidup nelayan lokal ?
2.
Bagaimanakah cara mengurangi praktik
perikanan ilegal di Indonesia ?
.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan
dalam penelitian ini adalah :
1.
Untuk mengetahui pengaruh perikanan ilegal
oleh kapal asing terhadap kelangsungan hidup nelayan lokal.
2.
Untuk mengetahui cara meminimalisir
praktik perikanan ilegal di Indonesia.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Perikanan Ilegal (Illegal Fishing)
Sebagai
negara maritim, Indonesia menyimpan potensi kekayaan sumber daya kelautan yang
belum dieksplorasi dan dieksploitasi secara optimal, bahkan sebagian belum
diketahui potensi yang sebenarnya untuk itu perlu data yang lengkap, akurat
sehingga laut sebagai sumber daya alternatif yang dapat diperhitungkan pada
masa mendatang akan semakin berkembang. Dengan luas wilayah maritim Indonesia
yang diperkirakan mencapai 5,8 juta km2 dan dengan kekayaan terkandung di
dalamnya yang meliputi kehidupan sekitar 28.000 spesies flora, 350 spesies
fauna dan 110.000 spesies mikroba, 600 spesies terumbu karang dan 40 genera,
jauh lebih kaya dibandingkan Laut Merah yang hanya memiliki sekitar 40 spesies
dari 7 negara, sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources),
termasuk ikan, udang, moluska, kerang mutiara, kepiting, rumput laut,
mangrove/hutan bakau, hewan karang dan biota laut lainnya.
Sejumlah
potensi tersebut di atas merupakan sumberdaya yang sangat potensial dikelola,
untuk kesejahteraan rakyat. Di era krisis ekonomi yang masih belum dapat
diatasi sepenuhnya hingga saat ini, seharusnya potensi laut yang besar tersebut
menjadi solusi. Namun karena selama ini kita telalu fokus kepada sumberdaya
yang ada di darat, maka sumberdaya laut yang besar menjadi tersia-siakan.
Keadaan inilah yang memberikan peluang kepada bangsa-bangsa lain untuk
mengeksploitasi laut indonesia dengan leluasa yang salah satunya dengan illegal
fishing.
Perikanan
ilegal saat ini telah menjadi perhatian dunia, termasuk FAO (Food and
Agriculture Organization). Lembaga ini menggunakan beberapa terminologi seperti
perikanan illegal (ilegal), unreported (tidak dilaporkan) dan unregulated
(tidak diatur) atau biasa disingkat dengan IUU fishing. Penjelasan
mengenai ketiga terminologi ini adalah sebagai berikut:
1. Illegal
fishing, adalah kegiatan penangkapan ikan
secara ilegal di perairan wilayah atau Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) suatu
Negara. Artinya kegiatan penangkapan yang tidak memiliki izin melakukan
penangkapan ikan dari Negara bersangkutan. Praktek terbesar dalam IUU
fishing, pada dasarnya adalah poaching atau pirate fishing. Yaitu penangkapan
ikan oleh negara lain tanpa izin dari negara yang bersangkutan, atau dengan
kata lain pencurian ikan oleh pihak asing. Keterlibatan pihak asing dalam
pencurian ikan dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
a. Pencurian
semi-legal, yaitu
pencurian ikan yang dilakukan oleh kapal asing dengan memanfaatkan surat izin
penangkapan legal yang dimiliki oleh pengusaha lokal, dengan menggunakan kapal
berbendera lokal atau bendera negara lain. Praktek ini tetap dikategorikan
sebagai illegal fishing karena selain menangkap ikan di wilayah perairan
yang bukan haknya, pelaku illegal fishing ini tidak jarang juga langsung
mengirim hasil tangkapan tanpa melalui proses pendaratan ikan di wilayah yang
sah.
b. Pencurian murni ilegal, yaitu proses penangkapan ikan di mana kapal asing
menggunakan benderanya sendiri untuk menangkap ikan di wilayah negara lain.
2. Unregulated fishing, adalah kegiatan penangkapan di perairan wilayah atau
ZEE suatu Negara yang tidak mematuhi aturan yang berlaku dinegara tersebut.
Tercakup dalam hal ini antara lain: penggunaan alat tangkap yang merusak seperti trawl, bom,
dan bius serta pelanggaran
wilayah tangkap.
3. Unreported fishing, adalah kegiatan penangkapan ikan di perairan wilayah atau
ZEE suatu negara, yang tidak dilaporkan baik operasionalnya maupun data kapal
dan hasil tangkapannya. Perikanan yang tidak dilaporkan mencakup kesalahan dalam pelaporannya
(misreported)pelaporan yang dan
tidak semestinya (under reported).
Masalah
perikanan tangkap yang melanggar hukum atau lebih dikenal dengan istilah
Illegal Fishing sebenarnya sudah menjadi masalah klasik. Dikatakan klasik
karena masalah ini telah ada dari zaman dulu yang seakan-akan tidak ada
habisnya. Hingga sekarang pun perikanan ilegal masih sulit untuk di berantas.
FAO (2001) memperkirakan kerugian
Indonesia dari perikanan ilegal tersebut mencapai sekitar US$ 4 milyar. Aktivitas
perikanan ilegal, negara dirugikan Rp 30 triliyun setiap tahunnya.Perkembangan
harga ikan rata-rata setiap tahunnya berkisar antara US$ 1.000 sampai US$ 2.000
per ton ikan. Dengan asumsi harga ikan rata-rata sebesar US$ 1.000 per ton,
diperkirakan jumlah ikan yang dicuri mencapai sekitar 4 juta ton per tahun.
Sementara itu apabila harga ikan rata-rata diasumsikan sekitar US$ 2.000 per
ton maka jumlah ikan yang dicuri tersebut mencapai kisaran 2 juta ton per
tahun. Terlebih lagi, apabila diasumsikan rata-rata tonase kapal ilegal yang menangkap
ikan di perairan Indonesia mencapai 200 ton dan setiap tahunnya melakukan 4
kali trip penangkapan, maka jumlah kapal ilegal mencapai sekitar 2.500 sampai
dengan 5.000 kapal per tahun.
Hingga kini pemberantasan praktek
perikanan illegal belum juga menunjukkan tanda-tanda yang menggembirakan,
bahkan semakin memprihatinkan. Salah satu buktinya, Maret 2006 lalu hasil
verifikasi Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap DKP menunjukkan 94 % tanda
peralihan kepemilikan kapal (deletion certificate) yang berhasil
diklarifikasi adalah palsu. Lebih buruk lagi, pada semester pertama 2007
(Januari – Juni), puluhan kapal dari berbagai negara telah ditemukan kembali
melakukan praktek pencurian ikan di perairan Indonesia. Perikanan ilegal
tersebut mencakup pencurian ikan, yaitu kapal asing menangkap ikan di Indonesia
dan tidak memiliki izin atau tidak memiliki dokumen keimigrasian perikanan yang
tidak diatur, karena melanggar peraturan perundangan yang telah ditetapkan
seperti menggunakan alat tangkap trawl, bom, atau memasuki wilayah tangkap yang
tidak sesuai dengan izin yang telah diberikan; serta perikanan yang tidak
dilaporkan, karena memuat dan memindahkan ikan di tengah laut atau menjual ikan
dijual ke negara lain, atau kegiatan lain yang menyebabkan tangkapan ikan
tersebut tidak dilaporkan.
Jumlah kegiatan perikanan ilegal begitu
fantastis. Pada tahun 2003, DKP menduga terdapat sekitar 5.000 kapal asing yang
tidak memiliki izin beroperasi di perairan Indonesia, yang kemudian berhasil
ditertibkan hingga 4.000 kapal asing melalui perizinan. Namun demikian,
kenyataan di lapangan menunjukkan perikanan ilegal terus terjadi dari tahun ke
tahun. Kapal asing yang melakukan kegiatan perikanan ilegal biasanya
melangsungkan operasinya di wilayah perbatasan dan perairan internasional,
antara lain:
1. Perairan Timur
Indonesia, seperti:
a.
Perairan Papua (Sorong, Teluk Bintuni,
Fakfak, Kaimana, Merauke, Perairan Arafuru)
b.
Laut Maluku, Laut Halmahera
c.
Perairan Tual
d.
Laut Sulawesi
e.
Samudra Pasifik
f.
Perairan Indonesia-Australia
g.
Perairan Kalimantan Timur
2. Perairan Barat
Indonesia, seperti:
a.
Perairan Kalimantan bagian Utara,
daerah Laut Cina Selatan
b.
Perairan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)
c.
Selat Malaka
d.
Sumatera Utara (Perairan Pandan, Teluk
Sibolga)
e.
Selat Karimata, Perairan Pulau Tambelan
(Perairan antara Riau dan Kalimantan Barat)
f.
Laut Natuna (Perairan Laut Tiongkok
Selatan)
g. Perairan Pulau
Gosong Niger (Kalimantan Barat)
Sebagaimana
yang telah kita ketahui, peran pemerintah dalam menjaga perairan di wilayah
perbatasan sangat terbatas, bahkan dapat dikatakan minim baik dalam hal
trasportasi seperti kapal-kapal patroli maupun dalam hal jumlah ankatan laut
maritim yang siaga berpatroli. Bayangkan saja jika kapal patroli indonesia,
ataupun kapal penangkap ikan yang umumnya berukuran kecil dan tradisional,
harus berhadapan dengan kapal asing yang berukuran lebih besar dan modern serta
dalam jumlah yang lebih banyak.
2.2 Kondisi Nelayan Indonesia
Bank
Dunia memperhitungkan bahwa 108,78 juta orang atau 49 persen dari total
penduduk Indonesia dalam kondisi miskin dan rentan menjadi miskin. Kalangan
tersebut hidup hanya kurang dari 2 dollar AS atau sekitar Rp. 19.000,– per
hari. Badan Pusat Statistik (BPS), dengan perhitungan yang agak berbeda dari
Bank dunia, mengumumkan angka kemiskinan di Indonesia hanya sebesar 34,96 juta
orang 15,42 persen. Salah satu kategori jenis pekerjaan masyarakat Indonesia
yang memiliki pendapatan terbatas adalah nelayan. Hal ini sangatlah bertolak
belakang dengan fakta yang menyebutkan bahwa Indonesia adalah Negara dengan
kekayaan laut yang melimpah.
Dengan
potensi laut yang melimpah, kesejahteraan nelayan justru sangat minim dan
identik dengan kemiskinan. Sebagian besar 63,47 persen penduduk miskin di
Indonesia berada di daerah pesisir dan pedesaan. Data
statistik menunjukan bahwa upah riil harian yang diterima seorang buruh tani
(termasuk buruh nelayan) hanya sebesar Rp. 30.449,- per hari. Jauh lebih rendah
jika dibandingkan dengan upah nominal harian seorang buruh bangunan
biasa (tukang bukan mandor) Rp. 48.301,- per hari.
Masalah
kemiskinan nelayan merupakan masalah yang bersifat multi dimensi sehingga untuk
menyelesaikannya diperlukan sebuah solusi yang menyeluruh, dan bukan solusi
secara parsial. Untuk itu terlebih dahulu harus diketahui akar masalah yang
menjadi penyebab terjadinya kemiskinan nelayan.
Secara umum, kemiskinan masyarakat pesisir ditengarai
disebabkan oleh tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat, antara lain
kebutuhan akan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, inftastruktur. Di
samping itu, kurangnya kesempatan berusaha, kurangnya akses terhadap informasi,
teknologi dan permodalan, budaya dan gaya hidup yang cenderung boros,
menyebabkan posisi tawar masyarakat miskin semakin lemah. Pada saat yang sama,
kebijakan Pemerintah selama ini kurang berpihak pada masyarakat pesisir sebagai
salah satu pemangku kepentingan di wilayah pesisir.
2.3 Upaya Pemerintah dan Akibat
Perikanan Ilegal
Organisasi
Pangan dan Pertanian Dunia atau FAO (Food and Agriculture Organization)
menyatakan kerugian Indonesia akibat IUU (illegal unreported unregulated)
fishing diperkiraan mencapai Rp 30 triliun per tahun.
Tingkat kerugian tersebut adalah sekitar 25 persen dari total potensi perikanan
yang dimiliki Indonesia sebesar 1,6 juta ton per tahun. FAO juga melansir data
bahwa pada saat ini stok sumber daya ikan di dunia yang masih memungkinkan
untuk ditingkatkan penangkapanya hanya tinggal 20 persen, sedangkan 55 persen
sudah dalam kondisi pemanfaatan penuh dan sisanya 25 persen terancam
kelestariannya.
Untuk
itu pemerintah menyatakan perang terhadap illegal fishing, karena illegal
fishing merupakan masalah serius yang harus segera ditanggulangi sebab sangat
membahayakan kelestarian sumber daya dan merugikan secara ekonomi bagi negara.
belum lama ini kapal pengawas DKP berhasil menangkap 24 kapal ikan di perairan
Timika, Papua Barat, dan kapal-kapal tersebut diduga melakukan berbagai pelanggaran.
Kapal ikan yang ditangkap tersebut sebagian besar memiliki alat tangkap pukat
ikan dan hampir separuh awak kapal tersebut bekewarga negaraan asing (WNA).
Komitmen
dan keseriusan DKP dalam upaya penanggulangan IUU fishing dilakukan melalui
operasi kapal pengawas secara kontinu. Hasilnya, pada tahun 2007, DKP berhasil
mengadhock 184 kapal perikanan dari 2.207 kapal ikan yang diperiksa oleh kapal
pengawas. Jumlah itu terdiri atas kapal Ikan Asing sebanyak 89 kapal dari 212
kapal yang diperiksa, dan Kapal Ikan Indonesia sebanyak 95 kapal dari 1995
kapal yang diperiksa.
Dari
hasil tersebut kerugian negara yang dapat terselamatkan diperkirakan mencapai
Rp439,6 miliar dengan rincian bila Pajak Penghasilan Perikanan (PHP) sebesar
Rp34 miliar, subsidi BBM senilai Rp23,8 miliar; sumber daya perikanan yang
terselamatkan senilai Rp381 miliar, dan nilai sumber daya ikan tersebut bila
dikonversikan dengan produksi ikan sekitar 43.208 ton.
Selama
tahun 2003 sampai 2007, DKP telah melakukan perampasan kapal ilegal sebanyak
148 buah dengan rincian di Sumatera 77 buah, di Kalimantan dan Maluku-Papua
masing-masing 28 buah, di Jawa 10 buah, dan di Sulawesi 5 buah. Sedangkan
perkembangan tindak pidana perikanan selama tahun 2003-2007 mengalami
penurunan, yaitu 322 kasus pada tahun 2003 menjadi 116 kasus pada tahun 2007
dengan jenis kasus tanpa ijin masih mendominasi.
Perang
Pemerintah terhadap pelaku illegal fishing selama enam tahun terakhir telah
menunjukkan hasil dan setiap tahunnya terus mengalami peningkatan. Selama tahun
2002-2007, kerugian negara yang berhasil diselamatkan dari kegiatan pengawasan
sebesar Rp1,271 tryliun.
BAB III
PEMBAHASAN
Walau sebagai negara
maritim yang sejak zaman nenek moyang dikenal sebagai bangsa pelaut yang ulung,
Indonesia masih terlalu lemah posisinya dalam peta kelautan dunia. Persoalan
tapal batas, pemetaan teritori garis pantai sampai penamaan pulau-pulau dan
kalkulasi jumlah pasti sebaran pulau Indonesia memang menjadi masalah sejak
masa awal Kemerdekaan Indonesia sampai saat ini. Sehingga friksi perbatasan
laut menjadi rawan konflik dan sengketa dengan negara-negara tetangga yang
berbatas laut langsung dengan Indonesia (terutama dengan Malaysia, Singapura,
dan Australia). Hal ini juga bersinggungan dengan faktor keamanan laut, illegal
fishing (pencurian ikan), pelanggaran batas, dan tindak kriminalitas kelautan
lainnya. Data statistik menunjukan kerugian sekitar ½ milyar dollar sampai
4 milyar dollar per tahun akibat pencurian ikan oleh orang
asing. Persoalan ini masih ditambah dengan aspek
lingkungan hidup kelautan kita yang jauh dari kategori ideal. Padahal Indonesia
punya potensi kelautan yang luar biasa besar dan posisi tawar yang tinggi
secara ekonomi, strategi dan politik.
Maraknya
perikanan ilegal di perairan Indonesia berdampak terhadap stok ikan nasional
dan global. Hal ini juga menyebabkan keterpurukan ekonomi nasional dan
meningkatnya permasalahan sosial di masyarakat perikanan Indonesia. Sebuah fakta menunjukkan, Bank Dunia memperhitungkan bahwa 108,78 juta orang atau
49 % dari total penduduk Indonesia dalam kondisi miskin dan rentan menjadi
miskin. Kalangan tersebut hidup hanya kurang dari 2 dollar AS atau sekitar Rp.
19.000,– per hari. Badan Pusat Statistik (BPS), dengan perhitungan yang agak
berbeda dari Bank dunia, mengumumkan angka kemiskinan di Indonesia hanya
sebesar 34,96 juta orang atau 15,42 %. Angka tersebut diperoleh berdasarkan
ukuran garis kemiskinan ditetapkan sebesar 1,55 dollar AS.
Dengan potensi laut yang
demikian besar, kesejahteraan masyarakat Indonesia terutama nelayan justru
sangat minim dan identik dengan kemiskinan. Sebagian besar 63,47 % penduduk
miskin di Indonesia berada di daerah pesisir dan pedesaan. Data
statistik menunjukan bahwa upah riil harian yang diterima seorang buruh tani
(termasuk buruh nelayan) hanya sebesar Rp. 30.449,- per hari. Jauh lebih rendah
jika dibandingkan dengan upah nominal harian seorang buruh bangunan
biasa (tukang bukan mandor) Rp. 48.301,- per hari. Hal ini perlu
menjadi perhatian mengingat ada keterkaitan erat antara kemiskinan dan
pengelolaan wilayah pesisir.
Dengan kondisi tersebut,
tidak mengherankan jika praktik perikanan ilegal yang merusak masih sering
terjadi di wilayah pesisir. Pendapatan mereka dari kegiatan pengeboman dan
penangkapan ikan karang masih jauh lebih besar dari pendapatan mereka sebagai
nelayan. Dengan besarnya perbedaan pendapatan tersebut di atas, sulit untuk
mengatasi masalah kemiskinan yang terjadi di wilayah pesisir. Kemiskinan
nelayan terjadi karena keterbatasan akses nelayan terhadap hak pengusaan
sumberdaya perikanan. Penguasaan atas sumberdaya perikanan selama ini lebih
banyak dinikmati oleh kapal-kapal asing. Sebagai fakta adalah masih beroperasinya
pukat harimau (trawl) di seluruh perairan Indonesia yang berakibat pada
penyerobotan terhadap wilayah tangkap nelayan tradisional (traditional fishing
ground).
Selain itu perikanan
ilegal akan meningkatkan konflik dengan armada nelayan tradisional. Maraknya
perikanan ilegal mengganggu keamanan nelayan Indonesia khususnya nelayan
tradisional dalam menangkap ikan di perairan Indonesia. Nelayan asing selain
melakukan penangkapan secara ilegal, mereka juga sering menembaki nelayan
tradisional yang sedang melakukan penangkapan ikan di daerah penangkapan
(fishing ground) yang sama. Perikanan ilegal juga akan mendorong ke arah
pengurangan pendapatan rumah tangga nelayan dan selanjutnya akan memperburuk
situasi kemiskinan.
Perikanan ilegal
berdampak negatif terhadap stok ikan dan ketersediaan ikan, yang merupakan
sumber protein penting bagi Indonesia. Pengurangan ketersediaan ikan pada pasar
lokal akan mengurangi ketersediaan protein dan keamanan makanan nasional. Hal
ini akan meningkatkan risiko kekurangan gizi dalam masyarakat, dan berdampak
pada rencana pemerintah untuk meningkatkan nilai konsumsi ikan. Perikanan ilegal
juga akan berdampak negatif pada isu kesetaraan gender dalam penangkapan ikan
dan pengolahan serta pemasaran hasil penangkapan ikan. Fakta di beberapa daerah
menunjukkan bahwa istri nelayan memiliki peranan penting dalam aktivitas
penangkapan ikan di pantai dan pengolahan hasil tangkapan, termasuk untuk
urusan pemasaran hasil perikanan. Semua fakta di atas menunjukkan bahwa
kelangsungan hidup para nelayan lokal sangatlah bergantung pada potensi sumber
daya laut Indonesia sendiri. Sehingga perlu dilakukan upaya-upaya untuk
mengurangi praktik perikanan illegal di Indonesia demi kesejahteraan masyarakat
terutama para nelayan lokal.
Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi praktik perikanan illegal
di Indonesia yaitu :
1. Menambah armada kapal patroli,
supaya kapal-kapal asing yang masuk ke wilayah perairan Indonesia yang melakukan illegal fishing bisa ditangkap
ataupun bisa dihancurkan kapal mereka.
2. Melakukan
kerjasama yang baik berupa koordinasi patroli, pertukaran informasi, serta
pengawasan dan monitoring antar beberapa pihak yang terkait.
3. Mengatur
masalah perizinan, pengawasan, penegakan hukum di laut dan peningkatan ekonomi
nelayan. Selain itu juga konsep kebijakan yang baru harus melihat secara
komprehensif dari berbagai aspek antara lain masalah kedaulatan, keamanan,
ekonomi dan citra sebagai bangsa yang besar.
4. Penguatan
sistem penegak hukum dengan membentuk semacam Badan Keamanan Laut yang
merupakan gabungan dari berbagai instansi digabung menjadi satu, dibawah satu
organisasi dan satu komando pengendalian. Badan ini menangani keamanan laut non
militer, sedangkan fungsi pertahanan di laut tetap menjadi tugas pokok TNI AL.
5. Mengadakan
pemutihan kapal-kapal ilegal untuk diberikan ijin, terutama pada kapal-kapal
yang jelas identitasnya. Dengan pemberian ijin secara sah, maka semua
kegiatannya akan termonitor dan terkendalikan serta dapat diketahui stok ikan
sebenarnya.
6. Pemerintah
memperbaiki manajemen perikanan dengan menerapkan pengaturan musim penangkapan
untuk jenis-jenis tertentu dan menetapkan daerah-daerah tertentu untuk menjamin
kelestarian.
7. Perbaikan
regulasi dan kebijakan yang semula pendekatannya “input restriction”
atau pembatasan input menjadi “output restriction” atau pendekatan
output, terutama untuk jenis Tuna dan Udang. Dengan pendekatan tersebut
mekanisme perijinan lebih sederhana dan mudah pengawasannya.
BAB IV
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Dengan potensi laut yang demikian besar,
kesejahteraan masyarakat Indonesia terutama nelayan justru sangat minim dan
identik dengan kemiskinan. Kemiskinan
nelayan terjadi karena keterbatasan akses nelayan terhadap hak pengusaan sumberdaya
perikanan. Penguasaan atas sumberdaya perikanan selama ini lebih banyak
dinikmati oleh kapal-kapal asing (perikanan ilegal).
Perikanan ilegal berpengaruh terhadap
kelangsungan hidup para nelayan lokal karena mereka bergantung pada potensi
sumber daya laut Indonesia sendiri. Sehingga perlu dilakukan upaya-upaya untuk
mengurangi praktik perikanan ilegal. Setidaknya perlu mengagas dan mewujudkan
akan perkuatan sektor kelautan dari semua aspek. Ini juga termasuk perkuatan
sektor perikanan, perjuangan nasib nelayan lokal (dalam negeri), penegasan dan
penegakan hukum perairan dan kelautan karena menjadi hal yang sangat
penting untuk mensejahterakan para nelayan lokal di Indonesia.
4.2
Saran
1.
Bagi Nelayan Lokal
Hendaknya
ikut bekerjasama dalam mengawasi praktik perikanan ilegal dan menjaga
kelestarian sumberdaya laut serta lingkungan sekitar agar tidak terabaikan
dengan arus perkembangan zaman.
2.
Bagi Pemerintah
Hendaknya
memberikan penegasan terhadap para pelaku perikanan ilegal dan mulai menetapkan
hukum yang tegas agar kesejahteraan para nelayan Indonesia tidak terabaikan.
3. Bagi
Peneliti
Hendaknya
penulisan karya tulis ini dapat di jadikan sebagai bahan acuan untuk penulisan
karya tulis selanjutnya yang sejenis.
DAFTAR
RUJUKAN
Andini, Ayu. Indonesia Gelar World Ocean Conference Pertama di Dunia
(Online), http://indofamily.com/, diakses
30 Desember 2012.
Soekanto, Soerjono. 2005.
Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta
: PT. Grafindo Persada.